Orang Gila

Orang Gila


Lik. Siang yang terik hari ini. Biasanya ku habiskan waktu seperti ini pergi ke gubug tua pinggir sawah. Biasanya aku hanya duduk, menikmati musik atau radio, membuka buku dengan satu teman, sepeda merahku. Tapi kali ini ada yang berbeda.

Sehari yang lalu aku sedang pergi dan tiba-tiba aku teringat seseorang. Itu yang membuat perbedaan kali ini. Tidak seperti biasanya, sekarang aku ditemani hebusan angin sawah di siang terik, mengajak ku bermain dengan waktu. Dan kembali ku teringat orang itu. Orang yang tiba-tiba lewat dibenak ku saat aku pergi. Saat melewati sebuah tempat tua di Semarang. Tempat yang dipenuhi pepohonan teduh dengan bangunan-bangunan klasik zaman Belanda. Tempat tua itu bisa dibilang sebagai tempat perpisahan, tempat dimana aku terakhir kali berbincang dengan seseorang yang ku sebut orang gila atau mungkin orang jenius?

Pertama kali aku bertemu dengan nya sewaktu aku kelas tiga sekolah dasar. Pertemuan pertama yang tidak meninggalkan kesan apapun tentang nya. Memang sulit mengingat yang sudah terlewat waktu. Entah kapan? Pertemuan demi pertemuan aku mulai tertarik dengan nya. Aku selalu merinduka bertemu dengan nya, aku meminta ayah untuk datang kesana, kala itu aku tidak tahu kenapa ayah pergi kesana dengan selang waktu yang lama. Mungkin karena tempat kami jauh? Magelang-Semarang.

Saat aku bertemu dia, aku pernah dan sering dilarang ayah bermain denganya. Kata ayah kalau aku dan dia bertemu kami seperti pasangan ayah dan anak yang “tidak jelas”. Maksud ayah mungkin karena kami melakukan hal-hal yang dianggap orang dewasa kekanak-kanakan. Aku juga selalu mengabaikan perkataan ayah. Usia kami memang berjarak sangat jauh. Tetapi dia bisa masuk denga sifat kekanak-kanakan ku kala itu, entah kenapa?. Aku suka dengan dia karena dulu dia sangat jenius, anggapku.

Saat kita berpisah aku selalu merindukan pertemuan selanjutnya dengannya dan menunggu ide-ide jeniusnya.

Setelah aku memasuki sekolah menengah pertama aku sudah mulai bosan melakukan hal-hal yang dulu ku lakukan dengan nya. Tetapi aku masih suka dengannya, aku masih menganggapnya jenius. Hal yang kami lakukan sekarang lebih banyak duduk daripada waktu dulu. Ayah juga masih melarangku denganya dan lagi ku abaikan kata ayah. Kita duduk di ayunan tua, lalu aku memulai pertanyaan-pertanyaanku, selalu begitu. Pertanyaan tentang semua hal pelajaran sekolah, ilmu sosial, alam semesta, bahkan hal-hal meta-fisika. Pertanyaan dan jawaban yang teringat hanyalah saat aku bertanya pandangannya tentang hantu.

Setiap dia menjawab selalu dia menjawab dengan pasti, dengan jawaban yang selalu meyakinkanku, selalu membuatku kagum dan kagum denganya. Setiap dia menjawab semakin aku suka dengan nya. Aah, aku terlalu terhipnotis dengan kejeniusanya.

         Dan akhirnya semua hilang. Semenjak masuk sekolah menengah atas, aku sudah tak suka semua darinya. Karena ayahku memberitahuku semuanya. Aku tahu kenapa ayah menjenguknya dalam selang waktu lama. Aku tahu maksud sebenarnya dari perkataan ayah “tidak jelas”. Aku tahu kenapa ayah melarangku dengannya. Sekarangpun aku tak tahu alasan dulu aku suka dengan pikiranya, dengan kelakuanya, dengan kejeniusanya yang ternyata gila. Kenapa aku bisa bermain bersama, bercakap bersama dengan nya? Pertemuan demi pertemuan tak kuharap lagi. Dan  pertemuan terakhirku di tempat tua yang dipenuhi pepohonan teduh dengan bangunan-bangunan klasik zaman Belanda juga tak meninggalkan kesan sama sekali sama saat aku pertama bertemu.

Aku sudah tidak peduli dengan nya. Bagaimana, dimana, dan apa yang dia lakukan aku tak peduli. Terakhir aku dapat kabar dari ayah dia sudah bersama teman-temannya. Teman-teman yang mengerti benar tentangnya. Teman-teman yang mengaguminya lebih dari aku. Teman-teman yang selalu bersamanya dimanapun dia berada.

Tempatnya bukan penjara tapi dia tidak boleh keluar sembarangan. Tempatnya bukan sekolah walalu pun belajar bisa kapan saja. Tempatnya buka tempat bermain, walaupun setiap hari,jam,menit dia selalu bersama teman. Dia bisa lakukan apapun, tapi dia tak tahu apa yang dia lakukan. Dia bebas tapi terkurung. Dia jenius dengan kegilaanya atau dia gila dengan kejeniusanya?

Satu kesan dari dia hanya pandangannya tentang hantu. Menurutku jawabanya sangat logis dengan menggabung ilmiah, imajinasi, kenyataan tanpa mengesampingkan agama.

Dia orang jenius yang menipuku dengan kegilaan nya.  Dia yang gila menipuku dengan kejeniusanya.

Kenapa aku teringat dan menuliskan tentang dia penipu jenius? Di sebuah gubug tua pinggir sawah. Kenapa ya?


Yang ku tahu “Yang membedakan antara gila dan jenius adalah, gila = tak terbatas apapun, sedangkan jenius = sangat terbatas segalanya.”






Previous
Next Post »
Thanks for your comment